Tanya Jawab

20 Dalil Perayaan Maulid Nabi Muhammad

ِAhmadAlfajri.com20 Dalil Perayaan Maulid Nabi Muhammad

Dibawah ini kami urailkan dalil-dalil perayaan maulid Nabi yang kami nukil dari kitab “Haulal Ihtifal bidzikrol Maulid An-Nabawi Asy-Syarif” karya Sayyyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki

20 Dalil Perayaan Maulid Nabi Muhammad
20 Dalil Perayaan Maulid Nabi Muhammad

20 Dalil Perayaan Maulid Nabi Muhammad

Pertama

Peringatan maulid Nai shollallohu ‘alaihi wasallam merupakan ungkapan kegembiraan dan kebahagiaan terhadap Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam yang mana orang kafir pun dapat memperoleh manfaat dari kegembiraan itu seperti yang terjadi pada Abu Lahab. Imam Bukhori meriwayatkan :

قَالَ عُرْوَةُ : وثُوَيْبَةُ مَوْلاَةٌ لِأَبِي لَهَبٍ: كَانَ أَبُو لَهَبٍ أَعْتَقَهَا، فَأَرْضَعَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا مَاتَ أَبُو لَهَبٍ أُرِيَهُ بَعْضُ أَهْلِهِ بِشَرِّ حِيبَةٍ، قَالَ لَهُ: مَاذَا لَقِيتَ؟ قَالَ أَبُو لَهَبٍ: لَمْ أَلْقَ بَعْدَكُمْ غَيْرَ أَنِّي سُقِيتُ فِي هَذِهِ بِعَتَاقَتِي ثُوَيْبَةَ

“Urwah berkata; Tsuwaibah adalah bekas budak Abu Lahab. Waktu itu, Abu Lahab membebaskannya, lalu Tsuwaibah pun menyusui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan ketika Abu Lahab meninggal, ia pun diperlihatkan kepada sebagian keluarganya di alam mimpi dengan keadaan yang memprihatinkan. Sang kerabat berkata padanya, “Apa yang telah kamu dapatkan?” Abu Lahab berkata.”Setelah kalian, aku belum pernah mendapati sesuatu nikmat pun, kecuali aku diberi minum lantaran memerdekakan Tsuwaibah.” (Shohih Bukhori, no.5101)

Kedua

Rosululloh mengagungkan hari kelahirannya dan bersyukur kepada Alloh yang maha tinggi pada hari itu atas nikmat-Nya yang agung kepada beliau dan karunia-Nya atas alam ini karena dengan berkat beliaulah alam ini dapat berbahagia. Beliau mengungkapkan pengagungan itu dengan cara berpuasa sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Abu Qotadah ; Bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam ketika ditanya tentang puasa beliau pada hari senin beliau bersabda :

فِيهِ وُلِدْتُ وَفِيهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ

“Pada hari itu aku dilahirkan dan pada hari itu pula aku (untuk pertama kali) menerima wahyu.” (Shohih Muslim,no.1162 danMusnad Ahmad, no.22550)

Dan ini adalah semakna dengan perayaan maulid Nabi, hanya saja bentuknya berbeda. Bisa berupa puasa atau memberi jamuan makan atau berkumpul untuk berdzikir atau bersholawat atas Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam atau mendengarkan sifat-sifat beliau yang mulia.

Ketiga

Kegembiraan karena hadirnya beliau adalah suatu yang diperintahkan oleh Al-qur’an. Alloh berfirman :

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا

“Katakanlah : “Dengan karunia Alloh dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.” (Q.S. Yunus :58)

Alloh menyuruh kita untuk bergembira dengan rahmat-Nya, sedangkan Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam adalah rahmat Alloh yang paling agung. Alloh berfirman :

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

“Dan tiadalah kami mengutusmu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Q.S. Al-Anbiya’ : 107)

Hal ini diperkuat oleh penafsiran dari seseorang yang paling luas ilmunya diantara umat ini dan penerjemah (ahli tafsir) Al-qur’an, yakni Imam Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhu tentang ayat ke-58 surat yusuf tersebut diatas adalah. Ia berkata : “Yang dimaksud dengan karunia Alloh adalah ilmu, dan yang dimaksud dengan rahmat-Nya ialah Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam. Alloh berfirman : “Dan tiadalah kami mengutusmu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.

Maka kegembiraan karena Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam dianjurkan pada setiap waktu, dalam setiap nikmat, dan pada setiap karunia. Akan tetapi lebih dianjurkan pada setiap hari senin dan setiap bulan Robi’ul Awwal, karena kuatnya suasana maulid dan memperhatikan waktu. Dan telah maklum bahwa tidaklah lalai dari peringatan itu dan berpaling dari peringatan tersebut pada waktunya kecuali orang yang lalai dungu.

Keempat

Nabi Muhammad sangat memperhatikan keterikatan waktu dengan peristiwa-peristiwa keagamaan yang agung yang telah berlalu dan lewat. Lalu jika tiba waktu yang bertepatan dengan peristiwa itu beliau menjadikannya sebuah kesempatan untuk memperingatinya dan menghormati hari tersebut karena adanya peristiwa yang terkait dan karena itu merupakan waktu terjadinya peristiwa tersebut.

Rosululloh shollallohu ‘alahi wasallam sendirilah yang membuat dasar dari aturan ini. Hqal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits shohih bahwasanya beliau ketrika sampai di Madinah dan melihat orang-orang yahudi berpuasa pada hari ‘Asyuro’, beliau lalu bertanya tentang hal itu. Kemudian ada yang berkata : “Sesungguhnya mereka berpuasa (pada hari itu) karena Alloh menyelamatkan Nabi mereka (Nabi Musa ‘alaihis salam) dan menenggelamkan musuh mereka (Raja Fir’aun beserta bala tentaranya), oleh karena itu mereka berpuasa sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat tersebut”. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam lalu bersabda :

نَحْنُ أَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ

“Kami lebih berhak atas Nabi Musa dari pada kalian”. (Shohih Bukhori, no.3943 dan Shohih Muslim, no.1130)

Lalu beliau menyuruh (para sahabat) untuk berouasa pada hari tersebut.

Kelima

Pembacaan kisah maulid yang mulia yang dapat menghantarkan kita untuk mengucapkan sholawat dan salam atas beliau sebagaimana hal tersebut dianjurkan dalam Al-qur’an, dengan firman Alloh :

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

”Sesungguhnya Alloh dan malaikat-malaikat-Nya bersholawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”. (Q.S. Al-Ahzab : 56)

Keenam

Kisah maulid yang mulia berisi tentang sejarah kelahiran belia, sejarah hisup beliau dan pengenalan terhadap beliau. Bukankah kita disuruh untuk mengenal beliau dan dituntut untuk mengikuti beliau serta meneladani segala amal perbuatan beliau , juga mempercayai mu’jizat-mu’jizat beliau dan membenarkan tanda-tanda kenabian beliau??. Sedangkan kitab-kitab maulid menyampaikan dan menyajikan itu semua dengan bentuk yang sempurna.

Ketujuh

Sebagai bentuk usaha kita untuk membalas jasa beliau dengan melaksanakan sebagian keweajiban kita terhadap beliau dengan cara menjelaskan sifat-sifat beliau yang sempurna dan akhlak beliau yang utama. Dan sungguh dahulu para penyair telah datang kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam dengan maksud menyampaikan kasidah-kasidah yang berisi pujian kepada beliau. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam menyetujui perbuatan mereka dan membalasnya dengan kebaikan dan do’a untuk mereka.

Jika beliau saja senang terhadap orang-orang yang memujinya, maka bagaimana beliau tidak senang terhadap orang-orang yang mengumpulkan syama’il (sifat-sifat dan segala hal yang menyangkut) beliau yang mulia? Sungguh hal itu termasuk pendekatan diri kepada Rosululloh yang mengundang rasa cinta dan mencari ridho beliau.

Kedelapan

Mengenal syama’il, mu’jizat, dan irhash (hal-hal luar buasa sebelum menjadi nabi) beliau dap[at menambah kesempurnaan keimanan kita kepada beliau serta menambah kecintaan kita pada beliau. Sebab tabiat manusia adalah senang dengan keindahan, baik fisik maupun mental, ilmu maupun amal, keadaan dan i’tikad dan tak ada yang lebih indah, lebih sempurna dan lebih utama dari akhlak dan syama’il beliau.

Bertambahnya kecintaan dan kesempurnaan kepada Nabi adalah dua hal yang dituntut oleh syari’at maka begitu pula segala sesuatu yang menyebabkan keduanya juga merupakan hal yang dianjurkan oleh syari’at.

Kesembilan

Penghormatan kepada beliau adalah sesuatu yang disyari’atkan dan bergembira dengan hari kelahiran beliau yang mulia dengan menampakkan kegembiraan dan membuat acara jamuan dan perkumpulan majlis dzikir serta memuliakan orang-orang fakir termasuk sebagian dari perwujudan yang paling agung dari rasa penghormatan, kebahagiaan, dan syukur kepada Alloh atas petunjuk-Nya kepada agama yang lurus yang telah diberikan kepada kita, dan atas karunia-Nya kepada kita yaitu diutusnya Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam.

Kesepuluh

Dari sabda beliau tentang keutamaan hari jum’at, nbeliau menjelaskan bahwa salah satu keistimewaan hari jum’at adalah :

فِيهِ خُلِقَ آدَمُ

“Pada hari itu (hari ju’at) Nabi adam diciptakan”. (Shohih Muslim, no.854, Sunan Abu Dawud, no.1046, Sunan Turmudzi, no.488, Sunan Nasa’i, no.1373, Sunan Ibnu Majah, no.1085 dan Shohih Ibnu Hibban, no.2772)

Kita dapat mengambil kesimpulan tentang kemuliaan setiap waktu yang diduga kuat bahwa saat itu adalah waktu kelahiran seorang dari para nabi ‘alaihimus salam. Lalu bagaimana dengan hari dilahirkannya Nabi yang paling utama dan Rosul yang termulia (yakni Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam).

Penghormatan ini tidaklah dikhususkan untuk hari itu saja tetapi juga berlaku bagi hari-hari yang semisalnya secara berulang sebagaimana hari jum’at. Itu sebagai perwujudan syukur dan nikmat, perwujudan keistimewaan posisi kenabian, dan untuk menghidupkan kembali kejadian-kejadian bersejarah yang sangat penting yang tercatat dalam sejarah umat manusia, tampak pada kening waktu dan terekam dalam lembaran keabadian.

Sebagaimana dapat pula diambil kesimpulan tentang penghormatan terhadap tempat lahirnya seorang nabi atas perintah malaikat jibril kepada Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam untuk melakukan sholat dua roka’at di Betlehem (Baitu Lahm). Lalu malaikat Jibril berkata kepada beliau : “Taukah engkau dimana engakau sholat tadi?” Nabi menjawab : “tidak”. Jibril menjelaskan : “Engaku sholat di Betlehem, tempat dilahirkannya Nabi isa”. Kisah itu terdapat pada hadits Syaddad bin Aus yang diriwayatkan oleh Al-Bazzar, Abu Ya’la, dan Ath-Thobroniy. Al-hafidh Al-haitsami berkata dalam kitabnya, Majma’uz Zawa’id jilid 1 halaman 47 : “Para perowinya shohih”. Riwayat ini juga dinukil oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitabnya Al-Fath jilid 7 hakaman 199, namun beliau tidak memberi komentar atas status hadits tersebut.

Kesebelas

Peringatan maulid nabi adalah perkara yanmg dipandang baik oleh para ulama’ dan kaum muslimin dipenjuru negeri dan dilaksanakan diberbagai wilayah negeri. Oleh karena itu maulid nabi termasuk perkara yang dianjurkan o;leh syari’at berdasarkan satu kaidah hukum Islam yang bersumber dari hadits:

مَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ ، وَمَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّءٌ

“Apa yang dipandang orang-orang Islam baik, maka perkara itu baik pula disisi Alloh. Dan apa yang dipandang buruk olehorang-orang Islam, maka perkara itu buruk pula disisi Alloh”. (Mustadrok, no.4465)

Keduabelas

Peringatan maulid meliputi berkumpul, berdzikir, sedekah, puji-pujian dan memuliakan Nabi, dan itu semua adalah hal yang disunatkan, dan perkarara-perkara itu adalah perkara yang dianjurkan dan terpuji dalam syari’at, yang mana hal itu telah dijelaskan dan dianjurkan oleh atsar-atsar (hadits-hadits atau perkataaan-perkataan sahabat atau tabi’in).

Ketigabelas

Alloh berfirman :

وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ

“Dan semua kisah dari Rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu”. (Q.S. Huud : 120)

Dari sini nampak bahwa hikmah pemaparan kisah para Nabi alaihis salam adalah untuk meneguhkan hati beliau yang mulia. Dan tak diragukan lagi bahwa kita lebih membutuhkan peneguhan hati dengan kisah beliau, lebih dari beliau sendiri.

Keempatbelas

Tidak semua perkara yang tidak dilakukan oleh generasi Salaf, generasi terdahulu (yaitu generasi para sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in) dan tidak ditemui dimasa-masa awal adalah bid’ah yang munkar dan buruk, haram dilakukan dan wajib diingkari. Yang harus dilakukan adalah menghadapkan setiap perkara tersebut kepada dalil-dalil syar’i, jika menurut syariat terdapat kemaslahatan maka perkara tersebut hukumnya wajib, dan jika mengandung sesuatu yang harom maka hukumnya harom, dan jika mengandung sesuatu yang makruh, maka hukumnya makruh, jika mubah maka bubah, dan jika sunah maka sunah. Dan hukum suatu perantara adalah sama dengan hukum tujuannya.

Para ulama’ membagi bid’ah menjadi lima bagian :

  • 1. Wajib, seperti membentah pernyataan orang-orang yang menyimpang dan sesat dari syari’at agama Islam dan mempelajari ilmu nahwu.
  • 2. Mandub (sunnah), seperti mendirikan pondok pesantren dan madrasah, adzan dimenara, dan melakukan perbuatan baik yang belum ada pada masa awal Islam.
  • 3. Makruh, seperti menghias masjid secara berlebihan, dan juga menghias mushaf.
  • 4. Mubah : seperti menggunakan ayakan (untuk menghaluskan tepung) dan memakan makanan yang lezat.
  • 5. Harom, seperti melakukan sesuatu yang bertentangan dengan sunnah dan tidak terkandung dalam makna hadits secara luas, serta sesuatu yang tidak mengandung kemaslahatan secara syar’i.

Kelimabelas

Tidak semua bid’ah itu haram. Andaikata itu benar makaharamlah hukumnya Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khottob dan Zaid bin Tsabit –rodhiyallohu ‘anhum- dalam penulisan Al-qur’an pada sebuah mushaf karena takut akan hilangnya Al-qur’an sebab banyak diantara para penghafal Al-qur’an dari kalangan sahabat yang meninggal dunia. Dan jika demikian maka haram pula hukumnya Umar mengumpulkan orang-orang untuk mengerjakan sholat tarawih dengan satu imam, yang mana ketika itu beliau berkata : “Sungguh ini adalah sebaik-baiknya bid’ah”.

Dan haram pula penyusunan kitab-kitab yang berisi ilmu-ilmu yang bermanfa’at , dan wajib bagi kita untuk memerangi orang-orang kafir dengan menggunakan anak panah dan busur, sedangkan mereka menyerang kita dengan pistol, meriam, tank, pesawat tempur, kapal selam dan kapal laut. Dan haram pula adzan diatas menara serta haram pula mendirikan pondok pesantren, madrasah/sekolahan, rumah sakit, ambulan, rumah anak yatim dan penjara.

Oleh karena itu para ulama’ memaknai kata bid’ah dalam hadits “semua bid’ah adalah sesat” dengan bid’ah yang buruk saja yang bertentangan atau menyimpang dari syari’at. Ketentuan ini dikuatkan oleh perkara-perkara yang dilakukan oleh para pembesar sahabat dan tabi’in yang kesemuanya itu tidak didapati pada masa Rosululloh. Kita sendiri saat ini telah banyak mengerjakan banyak hal baru yang belum pernah dikerjakan pada generasi salaf, seperti mengumpulkan orang untuk sholat malam setelah sholat tarawih, menghatamkan Al-qur’an didalam shol;at malam atau sholat tarawih, khutbah yang dilakukan oleh imam pada malam ke-27 bulan Romadhon dalam pelaksanaan sholat tahajjud, dan seperti seruan mu’adzdzin :

صلاة القيام أثابكم الله ( صلاة التراويح اجركم الله

“Bersiaplah untuk sholat tarowih, semoga Alloh memberimu pahala”.

Kesemuanya itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam dan tidak pula dilakukan oleh para pendahulu kita. Lalu apakah perbuatan kita bid’ah?

Keenambelas

Peringatan maulid, karena tidak ada pada masa Rosulyulloh shollallohu ‘alaihi wasallam memang bisa dikatakan bid’ah, namun bid’ah yang baik (bid’ah hasanah) karena tercakup dalam dalil-dalil syar’i dan kaidah-kaidah hukum Islam yang bersifat umum(menyeluruh).atas dasar ini peringatan Maulid Nabi adalah bid’ah jika dilihat secara utuh sebagai sebuah majlis Maulid sebab majlis seperti itu belum ada pada masa awal,tetapi jika lihat dari satu persatu acara yang ada dalam majlis maulid tersebut (pembacaan kisah Nabi,puji pujian terhadap beliau,dsb)maka acara-acara itu bukanlah bid’ah,hal ini dapat dapat diketahui dari dari dalil yang keduabelas.

Ketujuhbelas

Segala sesuatu perbuatan yang jika dilihat secaru utuh tidak ada pada masa awal Islam, akan tetapi jika dilihat susunan satu-persatu dari perbuatan itu ternyata ada, Maka suatu tersebut adalah dianjurkan secara syar’i.karena sesuatu yang tersusun dari hal-hal yang syar’i maka sesuatu itu juga dinilai syar’i,danhal ini telah jelas.

Kedelapanbelas

Imam Asy-Syafi’i berkata:

ما أحدث وخالف كتابًا أو سنة أو إجماعًا أو أثرًا فهو البدعة الضالة، وما أحدث من الخير ولم يخالف شيئًا من ذلك فهو المحمود

“Hal-hal yang baru yang menyalahi Alqur’an As-sunnah, Ijma’ (kesepakatan Ulama’), atau atsar maka itu bid’ah yang menyesatkan. Sedangkan suatu hal yang baru yang tidak menyalahi salah satu dari keempatnya maka itu (bid’ah) yang terpuji”.

Al Imam Al –’Izz Bin Abdissalam, Al-Imam An-Nawawi, dan Al-Imam Ibnu atsir mambagi bid’ah menjadi lima bagian seperti yang telah kami sebutkan diatas.

Kesembilanbelas

Segala kebaikan yang tercakup dalam makna dalil-dalil syar’i dan pengadaannya bukan dimaksudkan untuk menentang syari’at ser dalil-dalil perayaan maulid Nabi yang kami nukil dari kitab “Haulal Ihtifal bidzikrol Maulid An-Nabawi Asy-Syarif” karya Sayyyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki ta tidak mengandung sesuat yang munkar maka kebaika itu termasuk syari’at agama Islam.

Adapun perkataan orang-orang yang fanatik buta:”Sesungguhnya hal itu tidak dilakukan oleh salaf”. bukan dalil bagi mereka bahkan itu sama sekali tidak bisa disebut dalil, sebagaimana hal itu diketahui secara jelas bagi orang-orang yang mendalami Ilmu Ushul Fiqh (dasar-dasar ilmu fiqih). Sungguh Rasulullah saw Sang Pengemban Syari’at telah menyebutkan Bid’atul Huda (bid’ah yang terpuji) sebagai sunnah.

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا، وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ

“Barang siapa yang mempelopori suatu tradisi (amal perbuatan)yang baik lalu amal itu dilakukan oleh orang-orang setelahnya maka baginya pahala orang-orang yang mengerjakannya itu dantidak mengurangi sedikit pun dari pahala orang-orang tersebut”. (Shohih Muslim, no.1617)

Keduapuluh

Peringatan maulid itu menghidupkan kembali ingatan kita tentang nabi, dan hal itu dianjurkan dalam Islam. Sebab sebagai mana dapat dilihat bahwa amalan-amalan haji merupakan proses napak tilas (mengenang kembali) peristiwa-peristiwa yang disaksikan oleh sejarah dan tempat-tempat yang terpuji. Sa’i dari shofa ke Marwa, melontar Jumroh, menyembelih hewan kurban di Mina semuanya adalah peristiwa-peristiwa yang telah lalu yang mana kaum muslimin mencoba menghidupkannya kembali dengan memperbaharui bentuknya. Dalilnya adalah firman Alloh :

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ

“Dan berserulah kepada manusia untuk berhaji..”. (Q.S. Al-Hajj : 27)

Dan juga firman Alloh ketika menceritakan tentang Nabi Ibrohim dan Nabi Isma’il ‘alaihimas salam :

وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا

“…..Dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami….” (Q.S. Al-Baqoroh : 128)

(Dijawab oleh : Rafi Ahmad, Muh KHolili Aby Fitry, Dhimaz Akbar dan Siroj Munir)

Lihat Semuanya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker