Www.AhmadAlfajri.Com – Apakah Zakat Harus Ada Ijab Qabul
Zakat adalah ibadah yang bersifal maliyah (harta). Seorang muslim menyerahkan beberapa kadar yang telah ditentukan dari hartanya dan diserahkan kepada ada orang yang berhak menerima zakat.
Penyerahan zakat boleh dibagikan secara langsung kepada mustahiq atau orang yang berhak menerima zakat. Dan boleh juga dibagikan kepada petugas zakat atau Amil.
Dalam konteks Ijab Kabul, ada sedikit perbedaan antara cara menyerahkan zakat secara langsung dengan menyerahkan zakat tidak secara langsung.
Menyerahkan zakat secara tidak langsung atau diwakilkan kepada amil zakat, maka di sana diperlukan adanya Ijab Kabul.
Ijab adalah lafaz penyerahan dari pihak pemberi zakat. Sedangkan qobul adalah lafaz penerimaan dari pihak amil zakat.
Biasanya, prosesi ijab kabul ditandai dengan adanya salaman antar kedua belah pihak. Pertanyaan yang sering diajukan oleh masyarakat adalah Apakah dalam mengeluarkan zakat, mesti menggunakan ijab kabul dan salaman?
Hukum ijab kabul dan salaman saat penyerahan zakat
Fungsi dari Ijab dan Qabul adalah sebagai wasilah pertanda akad sudah dilakukan dan otomatis sudah terjadi perpindahan tanggung jawab atau kepemilikan.
Dalam konteks pernikahan, setelah Ijab Qabul diucapkan maka tanggung jawab anak perempuan sudah beralih dari sang ayah kepada sang suami yang menikahinya.
Dalam konteks zakat, setelah prosesi Ijab Qabul diucapkan maka kepemilikan harta beralih dari pihak pemberi zakat kepada pihak Amil selaku pengelola zakat .
Setelah Ijab Kabul, pihak amil berhak mentasharrufkan atau mengelola zakat tersebut untuk disalurkan kepada orang yang berhak menerima zakat.
Zakat yang diserahkan secara langsung
Pada dasarnya, ijab kabul bukanlah sebuah kewajiban dalam hukum zakat. Kewajiban ijab kabul dalam zakat hanya berlaku saat zakat diserahkan melalui amil zakat.
Posisi amil zakat dalam hal ini adalah sama seperti wakil. Jadi, Ijab Kabul yang dilakukan hanyalah sebatas akad wakalah atau akad mewakilkan penyaluran zakat.
Adapun zakat yang diserahkan langsung kepada mustahik, maka tidak diperlukan Ijab Kabul. Dan yang diperlukan hanyalah niat saat menunaikan zakat tersebut.
Sekiranya Pemilik harta membawa harganya ke depan orang yang berhak menerima zakat, lalu diberikan kepada mereka Maka hukum zakat nya adalah sah.
Contoh yang lain: sekiranya seseorang mengkalkulasikan seluruh simpanannya dalam satu tahun. Lalu disisihkan sebanyak 2.5% dan diserahkan kepada pihak penerima zakat, maka zakat yang dilakukannya adalah sah.
Alasannya adalah kerja mengkalkulasikan dan menyisihkan seukuran 2.5% adalah praktik dari niat. Sebab, niat haruslah berbarengan dengan perbuatan dan tindakan.
Dalil
Pengarang kitab tuhfatul muhtaj menerangkan bahwa zakat boleh dikeluarkan meskipun penerima zakat tidak mengetahui bahwa harta tersebut adalah zakat.
يَجُوزُ دَفْعُهَا لِمَنْ لَمْ يَعْلَمْ أَنَّهَا زَكَاةٌ؛ لِأَنَّ الْعِبْرَةَ بِنِيَّةِ الْمَالِكِ مَحَلُّهُ عِنْدَ عَدَمِ الصَّارِفِ مِنْ الْآخِذِ أَمَّا مَعَهُ كَأَنْ قَصَدَ بِالْأَخْذِ جِهَةً أُخْرَى فَلَا
Para ulama berpendapat boleh menyerahkan zakat kepada orang yang tidak tahu bahwa itu sesungguhnya adalah zakat. Alasannya, karena ketentuan penyertaan lafadh niat itu adalah tanggungan pemilik harta, dan hal itu bisa dilakukan saat tidak ada pihak penyalur (amil) yang menanganinya. Adapun, bila ada pihak penyalur, maka niat menagih bagian dari zakat kepada pemilik harta merupakan bentuk pendapat lain, sehingga tidak boleh tanpa adanya niat mengeluarkan zakat
Dari redaksi kitab di atas dapat dipahami bahwa hal terpenting dalam konteks zakat yang diserahkan secara langsung kepada pihak penerima zakat adalah niat.
Dan bagi pihak amil yang bertugas mengambil zakat maka diperlukan penegasan niat saat sedang menagih harta zakat. Jadi, proses penyerahan dan penerimaan harta zakat tersebut dianggap sebagai niat.
Sekali lagi, aspek terpenting dalam konteks zakat yang diserahkan kepada amil adalah penegasan bahwa harta tersebut adalah zakat. Jadi, tanpa salaman pun, penegasan tersebut sudah termasuk dalam kategori Ijab Kabul.
Dalam kitab Tharhu al-Tatsrib, terdapat penjelasan yang lebih mudah dipahami:
لَا يُشْتَرَطُ فِي كُلٍّ مِنْ الْهَدِيَّةِ وَالصَّدَقَةِ الْإِيجَابُ وَالْقَبُولُ بِاللَّفْظِ بَلْ يَكْفِي الْقَبْضُ وَتُمْلَكُ بِهِ
Tidak disyaratkan di dalam pemberian hadiah dan shadaqah (zakat) adanya lafadh ijab dan qabul. Akan tetapi yang terpenting dan sudah mencukupi adalah serah terima dan sekaligus terjadinya perpindahan kepemilikan
Kesimpulan
Salaman bukanlah sebuah kewajiban dalam menunaikan zakat. Hal terpenting dalam zakat adalah menyerahkan kepada ada pihak Amil atau langsung kepada pihak penerima zakat. Penyerahan tersebut bertujuan sebagai perpindahan kepemilikan atau pentasharufan.
Ijab dan kabul saja tidak menjadi kewajiban mutlak dalam penyerahan zakat, apa lagi salaman.
Namun, apabila salaman tetap dilakukan maka tidak menjadi masalah apapun dan zakat tetap sah.
Sekian saja artikel kami tentang hukum salaman dan ijab qabul dalam penyerahan zakat. Semoga bermanfaat dan terima kasih.
One Comment