Sejarah

Ciri Ciri Masyarakat Praaksara di Indonesia

Sofyan Ciri Ciri Masyarakat Praaksara di Indonesia

Ciri Ciri Masyarakat Praaksara di Indonesia
Ciri Ciri Masyarakat Praaksara di Indonesia

Setelah nenek moyang kita datang di Nusantara dan menetap, mereka meninggalkan tradisi, aturan kemasyarakatan, serta religi yang ditaati oleh mereka dan anak keturunannya.

Tradisi tersebut diwariskan kepada masyarakat hingga sekarang ini. Kemampuan nenek moyang kita sebelum mengenal tulisan dan sebelum terpengaruh budaya Hindu-Buddha oleh Brandes dikelompokkan sebagai berikut.

Kemampuan Berlayar

Nenek moyang bangsa Indonesia datang dari Yunan sebelum Masehi. Mereka sudah pandai mengarungi laut dan harus menggunakan perahu untuk sampai di Indonesia.

Kemampuan berlayar ini dikembangkan di tanah baru, yaitu di Nusantara, mengingat kondisi geografi di Nusantara terdiri banyak pulau.

Kondisi ini mengharuskan menggunakan perahu untuk mencapai kepulauan lainnya.

Salah satu ciri perahu yang dipergunakan nenek moyang kita adalah perahu cadik, yaitu perahu yang menggunakan alat dari bambu atau kayu yang dipasang di kanan kiri perahu.

Pembuatan perahu biasanya dilakukan secara gotong royong oleh kaum laki-laki. Setelah masa perundagian, aktivitas pelayaran juga semakin meningkat.

Perahu bercadik yang merupakan alat angkut tertua tetap dikembangkan sebagai alat transportasi serta perdagangan.

Bukti adanya kemampuan dan kemajuan berlayar tersebut terpahat pada relief candi Borobudur yang berasal dari abad ke-8. Relief tersebut melukiskan tiga jenis perahu, yaitu

  1. perahu besar yang bercadik,
  2. perahu besar yang tidak bercadik, dan
  3. perahu lesung

Bentuk perahu lesung adalah sampan yang dibuat dari satu batang kayu yang dikeruk di dalamnya menyerupai lesung, tetapi bentuknya memanjang.

Untuk memperbesar ruangannya, pada dinding perahu ditempel papan serta diberi cadik pada sisi kanan dan kirinya untuk menjaga keseimbangan.

Kapal yang besar pada relief candi Borobudur mempunyai dua tiang layar yang dimiringkan ke depan, sedangkan layar yang dipakai pada zaman itu berbentuk segi empat dengan buritan layar berbentuk segitiga.

Kemampuan berlayar selanjutnya menjadi dasar dari kemampuan berdagang. Oleh karena itu, pada awal Masehi bangsa Indonesia sudah berlayar sampai batas barat Pulau Madagaskar, batas selatan Selandia Baru di timur Pulau Paskah, dan di utara sampai Jepang.

Hal ini dapat terjadi karena nenek moyang memiliki ilmu astronomi, yaitu Bintang Biduk Selatan menjadi petunjuk arah selatan.

Kemampuan Bersawah

Sistem persawahan mulai dikenal bangsa Indonesia sejak zaman Neolitikum, yaitu manusia hidup menetap.

Mereka terdorong untuk mengusahakan sesuatu yang menghasilkan (food producing).

Sistem persawahan diawali dari sistem ladang sederhana yang belum banyak menggunakan teknologi, kemudian meningkat dengan adanya teknologi pengairan hingga lahirlah sistem persawahan.

Sistem irigasi dalam bercocok tanam digunakan untuk memenuhi kebutuhan air dengan cara membuat pematang dan saluran air.

Cara ini kemudian meningkat menjadi pembuatan terasering di lereng pegunungan, serta pembuatan bendungan atau dam air yang sederhana.

Sementara itu, untuk mengerjakan sawah dibuatlah alat-alat dari logam dan mengembangkan tanaman biji-bijian, padi, juwawut, serta tanaman kering lainnya.

Mengenal Astronomi

Pengetahuan astronomi (ilmu perbintangan) sudah dimiliki nenek moyang bangsa Indonesia. Masyarakat Indonesia telah mengenal ilmu pengetahuan dan memanfaatkan teknologi angin musim sebagai tenaga penggerak dalam aktivitas pelayaran dan perdagangan.

Selain digunakan untuk mengenali musim, ilmu astronomi juga sudah dimanfaatkan sebagai petunjuk arah dalam pelayaran, yaitu Bintang Biduk Selatan dan Bintang Pari (orang Jawa menyebut Lintang Gubug Penceng) untuk menunjuk arah selatan serta Bintang Biduk Utara untuk menunjukkan arah utara.

Kemampuan astronomi dan angin musim ini telah mengantarkan mereka berlayar ke barat sampai di Pulau Madagaskar, ke timur sampai di Pulau Paskah, dan ke selatan sampai di Selandia Baru serta ke arah utara sampai di Kepulauan Jepang.

Pengetahuan astronomi juga digunakan dalam pertanian dengan memanfaatkan Bintang Waluku sebagai pertanda awal musim hujan.

Sistem Mocopat

Sistem mocopat adalah suatu kepercayaan yang didasarkan pada pembagian empat penjuru arah mata angin, yaitu utara, selatan, barat, dan timur.

Sistem mocopat dikaitkan dengan pendirian bangunan, pusat kota atau pemerintah (istana), alun-alun, tempat pemujaan, pasar, dan penjara.

Peletakan bangunan tersebut dibuat skema bersudut empat di mana setiap sudut mempunyai kemampuan dan kekuatan secara magis.

Itulah sebabnya mengapa setiap desa pada zaman kuno selalu diberi sesaji pada waktu-waktu tertentu, bahkan hari pasaran menurut perhitungannya juga dikaitkan dengan sistem mocopat, yaitu

  1. arah barat diletakkan pon jatuh hari Senin dan Selasa,
  2. arah timur diletakkan legi jatuh hari Jumat,
  3. arah selatan diletakkan pahing jatuh hari Sabtu dan Minggu,
  4. arah utara diletakkan wage jatuh hari Rabu dan Kamis, dan
  5. arah tengah diletakkan kliwon jatuh hari Jumat dan Sabtu.

Jadi pola susunan masyarakat mocopat merupakan suatu kepercayaan dalam menata dan menempatkan suatu bangunan yang bersudut empat, dengan susunan ibu kota pusat pemerintahan terdapat alun-alun di sekitar istana, serta ada bangunan tempat pemujaan, pasar, dan penjara.

Di daerah Tuban, Jawa Timur di masa dahulu masih terdapat model desa penenun sebagai berikut.

  1. Pusat desa lama terdapat di tengah desa (dikelilingi desa) di dalamnya terdapat rumah kepala desa, rumah pencelupan kain, dan rumah ulama.
  2. Pusat administrasi berada di belakang rumah kepala desa.
  3. Kemudian dikelilingi desa-desa mocopat yang membentuk lingkaran mengelilingi pusat desa tersebut.

Demikian kaitanantara sistem mocopat dengan religiositas di masa nenek moyang kita.

Kesenian Wayang

Kesenian wayang semula berpangkal pada pemujaan roh nenek moyang. Semula wayang diwujudkan sebagai boneka nenek moyang yang dimainkan oleh dalang pada malam hari.

Dengan beralaskan tirai dan tata lampu di belakangnya serta boneka yang digerak-gerakkan sehingga terlihat bayangan boneka seolah-olah hidup.

Jika dalang kemasukan roh nenek moyang, sang dalang akan menyuarakan suara nenek moyang yang berisi nasihat-nasihat kepada anak cucu mereka.

Setelah kedatangan hinduisme ke nusantara maka kisah nenek moyang digantikan kisah Ramayana dan Mahabharata.

Bonekanya kemudian diganti dengan bentuk tokoh dalam cerita Mahabharata.

Fungsinya pun beralih sebagai pertunjukan dan penontonnya melihat dari depan tirai.

Pada zaman Kediri, muncul kitab Gatot kaca sraya yang mulai menampilkan dewa asli Jawa, yakni Punakawan yang berperanagresif dan dinamis dalam membimbing dan mengawal para Pandawa dari ancaman musuhnya, yakni Kurawa (kitab Gatotkacasraya memuat unsur javanisasi).

Pada waktu senggang, nenek moyang yang sudah menetap dan hidup bercocok tanam menyalurkan bakat seninya serta pemujaan setelah panen dengan pertunjukan wayang.

Pertunjukan tersebut untuk memuja Dewi Sri yang telah memberi berkah pertanian. Selain itu, pertunjukan wayang merupakan tontonan yang di dalamnya terdapat nasihat yang berharga.

Seni Gamelan

Seni gamelan ada kaitannya dengan seni wayang. Seni gamelan ini dipakai untuk mengiringi pertunjukkan wayang.

Pada waktu musim bercocok tanam sudah usai masyarakat kuno itu membuat alat musik gamelan, mengembangkan seni membatik, dan mengadakan pertunjukan wayang semalam suntuk untuk dapat dilihat oleh masyarakat di sekitarnya.

Seni Membatik

Seni membatik merupakan kerajinan membuat gambar pada kain. Cara menggambarnya mempergunakan alat canting yang diisi bahan cairan lilin (orang Jawa menyebutnya malam) yang telah dipanaskan, lalu dilukiskan pada kain sesuai motifnya.

Bagian kain yang tidak terkena malam/cairan lilin akan menjadi berwarna merah setelah dimasukkan dalam air soga.

Membatik dilakukan untuk mengisi waktu luang bercocok tanam setelah panen, sekaligus merupakan kegiatan religius, sebab ada kegiatan membatik tertentu yang dimaksudkan untuk menghormati nenek moyang mereka.

Pengaturan Masyarakat

Nenek moyang kita hidup berkelompok. Mereka bersepakat untuk hidup secara bersama, hidup gotong royong, dan demokratis.

Mereka memilih seorang pemimpin yang dianggap dapat melindungi masyarakat dari berbagai gangguan termasuk gangguan roh sehingga seorang pemimpin dianggap memiliki kesaktian lebih.

Cara pemilihan pemimpin yang demikian disebut primusinterpares, yaitu yang terutama di antara yang banyak. Jadi, seorang pemimpin adalah yang terbaik bagi mereka bersama.

Sistem ekonomi dengan mengenal perdagangan

Kebutuhan hidup manusia selalu menuntut untuk dipenuhi. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, masyarakat kuno saling bertukar barang (barter) dari satu wilayah ke wilayah lain.

Jadi, dalam hal perdagangan, nenek moyang kita sudah melaksanakan kegiatan barter dikarenakan mereka belum mengenal uang, nilainya berdasarkan kesepakatan bersama.

Sistem Kepercayaan

Manusia yang terdiri atas jasmani dan rohani memunculkan suatu kepercayaan bersifat rohani yang kemudian dipersonifikasikan dalam bentuk riil.

Sistem kepercayaan masyarakat Indonesia mulai tumbuh pada masa hidup berburu dan mengumpulkan makanan, ini dibuktikan dengan penemuan lukisan dinding gua di Sulawesi Selatan berbentuk cap tangan merah dengan jari-jari yang direntangkan.

Lukisan itu diartikansebagai sumber kekuatan atau simbol perlindungan untuk mencegah roh jahat.

Manusia di zaman hidup bercocok tanam sudah percaya adanya dewa alam yang menciptakan banjir, gunung meletus, gempa bumi, dan sebagainya.

Pada zaman perundagian, masyarakat sudah percaya kepada roh nenek moyang. Mereka percaya jiwa dan roh berdiam di batu besar, pohon besar, dan sebagainya.

Kepercayaan ini pada akhirnya diwariskan kepada kita hingga masa sekarang.

Herbert Spencer dan August Comte menerapkan teori evolusi untuk mengkaji masyarakat manusia dalam kaitannya dengan religi.

Menurut keduanya, semua bangsa di dunia mempunyai suatu bentuk religi. Bentuk religi muncul karena manusia sadar dan takut akan maut.

Bentuk religi tertua adalah penyembahan kepada roh yang merupakan personifikasi dari jiwa orang yang telah meninggal, terutama dari nenek moyangnya yang kemudian berevolusi terhadap pemujaan kepada dewa.

Hal ini sesuai dengan pandangan Edward B. Taylor. Ia mengatakan bahwa tingkat tertua dari evolusi religi adalah pemujaan kepada jiwa orang yang telah meninggal yang disebut makhluk halus (spirit), yakni jiwa yang telah merdeka, terlepas dari tubuh jasmani untuk selamanya. Keyakinan ini disebut animisme.

Kesimpulan

Jadi, dapat kita ketahui bahwa tradisi masyarakat Indonesia sebelum mengenaltulisan adalah sebagai berikut.

a. Organisasi kemasyarakatannya sudahada, yaitu adanya masyarakat teratur, demokratis, dan memilih pemimpinnya dengan primus inter pares dalam bentuk kesukuan.
b. Kemasyarakatan atau pranata sosialnya adalah masyarakat yang hidup berkelompok sebagai makhluk sosial, dan bergotong royong.
c. Memiliki pengetahuan alam, yakni memanfaatkan alam di sekitarnya sebagai wujud peduli dan memelihara alam lingkungannya.
d. Sudah mengenal sistem persawahan.
e. Kemampuan berlayar dan berdagang dengan memanfaatkan angin musim, bahkan mereka sudah berani mengarungi laut luas.
f. Sudah memiliki teknologi perundagian, yakni pengecoran logam dengan sistem bivalve dan a cire perdue.
g. Sistem kepercayaan pada mulanya menyembah roh nenek moyang kemudian menyembah dewa.
h. Sudah memiliki sistem ekonomi barter.

Demikian saja artkel kami tentang Ciri Ciri Masyarakat Praaksara di Indonesia. Semoga bermanfaat dan Terima Kasih.

Simak Video Sejarah Kehidupan manusia praaksara dibawah ini:

Lihat Semuanya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker